Ø MAKNA
DAN HUKUM QASHAR
Qashar adalah meringkas shalat empat
raka’at (dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. (lihat Tafsir Ath Thabari 4/244, Mu’jamul Washit hal 738). Dasar
mengqashar shalat adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al Majmu’ Syarah
Muhadzdzab 4/165).
Allah
Ta’ala berfirman:
Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu,
jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. an Nisaa’: 101).
Dari
Ya’la bin Umayyah bahwasanya ia bertanya kepada Umar Ibnul Khaththab radhiallahu
‘anhu tentang ayat ini seraya berkata: “’Jika kamu takut diserang orang-orang kafir’,
padahal manusia telah aman?”. Sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menjawab: “Aku sempat
heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam tentang hal itu dan beliau menjawab:’(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud dll).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
berkata: “Allah menentukan shalat
melalui lisan Nabimu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam empat raka’at apabila hadhar
(mukim) dan dua raka’at apabila safar.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud
dll).
Dari Umar radhiallahu ‘anhu berkata:”Shalat safar (musafir) adalah dua raka’at,
shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalat ‘Ied adalah dua raka’at.” (HR.Ibnu
Majah dan An Nasa’i dll dg sanad yg shahih).
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma
berkata: “Aku menemani Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at
sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak
pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu
‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian
aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua
raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman:
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.” (QS Al
Ahzaab:21), (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
: “Kami pergi bersama Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam dari kota Madinah ke kota Makkah, maka beliaupun shalat dua-dua
(qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ø JARAK
SAFAR YANG DIPERBOLEHKAN MENGQASHAR
Qashar hanya boleh dilakukan oleh
Musafir-baik safar dekat atau safar jauh-,karena tidak ada dalil yang membatasi
jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan
qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar menurut pengertian umumnya.
Sebagian ulama memberikan batasan dengan
safar yang lebih dari 80 Km agar tidak terjadi kebingungan dan tidak rancu,
namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul
Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481,
Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz,
Abdul Adhim Al Khalafi 138).
Apabila terjadi kerancuan dan
kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar
shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan
batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km-, karena pendapat ini juga
merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak berijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265). Seorang musafir diperbolehkan
mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampong halamannya sampai dia
pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz,
Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).
Berkata Ibnu Mundzir: “Aku tidak
mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota
Madinah.”
Berkata Anas radhiallahu ‘anhu: “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam di kota Madinah empar raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah)
dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).
Ø SAMPAI
KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR SHALAT
Para ulama berbeda pendapat tentang
batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan
diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar)
ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu.
Namun para ulama lain diantaranya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As Sa’di, Syaikh Bin
Biz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat
bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai
niatan untuk kembali ke kampong halamannya walaupun ia berada di perantauannya
selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang shahih dan secara
tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah
yang rajah (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu
meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal
di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad
dll dg sanad shahih)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam tinggal
di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat. (HR. Bukhari).
Nafi’ rahimahullah meriwayatkan,
bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tinggal di azzerbaijan selama
enam bulan mengqashar shalat. (Riwayat
Al Baihaqi dll dg sanad
shahih).
Dalil-dalil diatas jelaslah bahwa
Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam tidak memberikan batasan waktu
tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir selama
mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak
berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa’ul Ghalil Syaikh Al Albani jilid 3, Fiqhus
Sunnah 1/309-312).
Ø SHALAT
TATHAWWU’ / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak
mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu’ bagi musafir yang mengqashar
shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah)
maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah Shalallahu
“alaihi Wassalam shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau
Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar. (HR. Bukhari ,Muslim)
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang
disyari’atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib
(qobliyah dan ba’diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir)
yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardu, maka beliaupun
berkata: “Kalau sekiranya aku shalat
sunnah rawatib setelah shalat fardu tentulah aku akan menyempurnakan shalatku (maksudnya tidak mengqashar).
Wahai saudaraku, sungguh aku
menemani Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas
dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah
atas dua raka’at sampai wafat,
kemudian aku menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai
wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at
sampai wafat.
Dan Allah Ta’ala telah berfirman:
“Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam itu suri tauladan
yang baik bagimu.”” (QS. Al Ahzab :21). (HR.Bukhari. Lihat zaadul Ma’ad, Ibnul
Qayyim 1/315-316,473-475, Fiqhus Sunnah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al Bassam
2/223-229. Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)
Adapun shalat-shalat sunnah
/nafilah/tathawwu’ lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar. dhuha, shalat yang ada sebab-sunnah wudhu dan
tahiyyatul masjid- dan tathawwu’utlat
adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap disyari’atkan berdasarkan hadist-hadist shahih
dalam hal ini.
Ø JAMA’
Menjama’ shalat adalah menggabungkan
antara dua shalat (Dhuhur dg Ashar atau Maghrib dg Isya’) dan dikerjakan dalam
waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama’ taqdim dan jama’ ta’khir. (lihat Fiqus Sunnah 1/313-317). Jama’
Taqdim adalah mengabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama,
yaitu; Dhuhur dengan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan Isya dikerjakan
dalam waktu Maghrib. Jama’ Taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana
urutan shalat dan tidak boleh terbalik. Adapun Jama’ Ta’khir adalah
menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu Dhuhur
dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dab Isya’ dikerjakan dalam
waktu Isya’.Jama’ Ta’khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak
berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. (lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As Shalah, Prof.
Dr.Abdullah Ath Thayyar 177).
Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh
siapa saja yang memerlukannya-baik musafir atau bukan- dan tidak boleh
dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310
dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).
Termasuk udzur yang membolehkan
seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan
dan belum sampai di tempat tujuan (HR.
Bukhari, Muslim), turunnya
hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan
orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul
Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah
:”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama’
shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan
Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal
Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma
berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ara Dhuhur
dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan
safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu
kepada Ibnu Abbas beliau menjawab:”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim
dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).
Ø MENJAMA’
JUM’AT DENGAN ASHAR
Tidak diperbolehkan menjama’ antara
shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alasan apapun-baik musafir, orang
sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di
perbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil
tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama’ antara
Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak bisa diqiyaskan
dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus
dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia
menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak
ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
bersabda: “Barangsiapa membuat perkara
baru dalam urusan kami ini (dalam
agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain: “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada
ajarannya) maka amalannya
tertolak.” (HR.Muslim).
Jadi kembali pada hukum asal, yaitu
wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil
yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378)
Ø JAMA’
DAN SEKALIGUS QASHAR
Tidak ada kelaziman antara jama’ dan
qashar. Musafir disunahkan untuk mengqashar shalat dan tidak harus menjama’,
yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah
sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama’ sebagaimana dilakukan
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Mina pada waktu haji
wada’, yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama’ (lihat Sifat haji Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam, karya Al Albani), dan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
pernah melakukan jama’ sekaligus qashar pada wkatu perang Tabuk. (HR. Muslim, lihat Taudhihul Ahkam, AL
Bassam 2/308-309 ).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
selalu melakukan jama’ sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum
sampai tujuan. (As Shalah 181.Pendapat
ini merupakan fatwa para ulama
termasuk Syaikh Abdul Aziz bin Baz). Jadi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam sedikit sekali menjama’ shalatnya karena beliau Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam melakukannya ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308).
Ø MUSAFIR
SHALAT DIBELAKANG MUKIM
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi
orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat dibelakang imam
yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat raka’at, namun
apabila ia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka’at).
Hal ini didasarkan atas riwayat yang shahih dati Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.
Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika
kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya:”Kami melakukan
shalat empat raka’at apabila bersama kamu (penduduk Makkah), dan apabila kami
kembali ke tempat kami (bersamasama musafir) maka kami shalat dua raka’at?”
Ibnu ABbas radhiallahu anhuma menjawab: “Itu adalah sunnahnya Abul Qasim
(Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dg sanad shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan
Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).
Ø MUSAFIR
MENJADI IMAM MUKIM
Apabila musafir dijadikan sebagai imam
orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang
mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka’at), namun agar tidak
terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa
dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat
mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari
dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Makkah, beliau
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Sempurnakanlah
shalatmu (empat raka’at) wahai
penduduk Makkah! Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu Dawud). Belai Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at
setelah beliau salam. (lihat Al Majmu
Syarah Muhadzdzab 4/178 dan
Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).
Apabila imam yang musafir tersebut
khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka’at (tidak
mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu’akkadah
dan bukan wajib. (lihat Taudhihul
Ahkam, Syaikh Abdullah bin
Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295)
.
Ø SHALAT
JUM’AT BAGI MUSAFIR
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak
ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu
daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat
Jum’at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi’i, Ats
Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (lihat
AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216,
Al Majmu’ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370).
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad
SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat jum’at dalam safarnya, juga ketika
haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan
shalat Dhuhur yang di jama’ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad
Nasiruddin Al Albani hal 73). Demikian
pula para Khulafa’ Ar Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para
sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orangorang yang setelah mereka apabila
safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur
Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal
bersama
dia (Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak
shalat
Jum’at.” Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua
tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at. Ibnul Mundzir rahimahullahu
menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para ulama) yang berdasar
hadist shaihi dalam hal ini sehingg tidak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Ø HADITS-HADITS TENTANG
JAMA’ dan QASHAR
·
Dari Syu’bah dari Yahya bin Yazid Al-Hunaiy, ia
berkata : Aku pernah bertanya kepada Anas bin Maalik tentang mengqashar shalat,
lalu ia menjawab, “Dahulu Rasulullah SAW apabila bepergian sejauh tiga mil atau
tiga farsakh (Syu’bah ragu), maka beliau shalat dua reka’at”. [HR. Muslim
juz 1, hal.481] (Keterangan : 1 farsakh = 3 mil. 1 mil = kira-kira 2
·
Dari Abu Hurairah, bahwasanya ia pernah shalat bersama
Rasulullah SAW dua reka’at-dua reka’at dalam perjalanan ke Makkah, selama muqim
di Makkah sampai pulang (ke Madinah). [HR. Abu Dawud Ath-Thayalisi dalam
musnadnya, hal. 337, no. 2576]
·
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah menemani
Rasulullah SAW sedang dalam bepergian, maka beliau tidak pernah menambah
shalatnya melebihi dua reka’at, demikian juga Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman RA”.
[HR. Bukhari juz 2, hal. 38]
·
Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata, “Nabi SAW (ketika
menaklukkan Makkah), beliau tinggal di sana selama 19 hari, beliau mengqashar shalat,
maka kami apabila bepergian, tinggal selama 19 hari, kami mengqashar shalat,
dan jika lebih dari itu, kami shalat tamam”. [HR. Bukhari juz 2, hal. 34]
·
Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata,
“Rasulullah SAW pernah tinggal di Tabuk selama dua puluh hari, beliau
mengqashar shalat”. [HR. Abu Dawud, juz 2, hal. 11, no. 1235]
·
Dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata : Aku pernah
berperang bersama Nabi SAW, dan aku mengikuti penaklukan (Makkah) bersama
beliau, lalu beliau tinggal di Makkah selama delapan belas hari, beliau tidak
shalat kecuali dua rekaat, dan beliau bersabda, “Hai penduduk Makkah, shalatlah
empat rekaat, karena kami adalah musafir”. [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 9, no.
1229. Hadits ini dlaif, karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ali bin Zaid]
·
Dari Anas, bahwasanya Rasulullah SAW shalat Dhuhur di
Madinah empat raka’at, dan beliau shalat ‘Ashar di Dzul Hulaifah dua raka’at. [HR.Muslim
juz 1, hal. 480]
·
Dari Tsumamah bin Syaraahiil, ia berkata : Aku pergi
kepada Ibnu ‘Umar, lalu aku bertanya, “Bagaimana shalatnya orang musafir
itu ?”. Ia menjawab, “Dua reka’at dua reka’at, kecuali shalat Maghrib, tiga
reka’at”. Aku bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika kami berada di
Dzul Majaz ?”. Ia bertanya, “Apa Dzul Majaz itu ?”. Aku menjawab,
“Suatu tempat yang kami berkumpul, berjual beli dan tinggal di situ selama dua
puluh hari atau lima belas hari”. (Ibnu ‘Umar) berkata, “Hai
Tsumamah, aku pernah di Adzrabiijan, (Tsumamah berkata : Ia berkata, “Aku
tidak ingat persis apa empat bulan atau dua bulan), aku melihat mereka para
shahabat shalat dua reka’at-dua reka’at. Dan aku melihat Nabi SAW penyejuk
pandangan mataku, beliau shalat dua reka’at. (Tsumamah berkata), “Kemudian
(Ibnu ‘Umar) membacakan ayat ini kepadaku (yang artinya), “Sungguh telah
ada bagi kalian pada diri Rasulullah contoh yang baik”. [HR. Ahmad juz 2,
hal. 538, no. 6433]. >>>> Keterangan : Tentang berapa
kilometer jauhnya seseorang disebut sebagai musafir itu tidak ada penjelasan
yang tegas dari Nabi SAW, namun yang jelas beliau bepergian dari Madinah ke
Makkah, ketika baru sampai di Dzul Hulaifah beliau sudah mengqashar shalat,
sedangkan jarak dari Madinah sampai Dzul Hulaifah itu kira-kira 6 mil (
kira-kira 12 km)
·
Dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata : Aku pernah
bertanya kepada ‘Umar bin Khaththab (tentang firman Allah, yang artinya)
“Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat, jika kamu khawatir diserang
orang-orang kafir. [QS.An-Nisaa’ : 101]”, sedang manusia sungguh sudah dalam
keadaan aman. Kemudian ‘Umar menjawab, “Aku (juga) heran
sebagaimana apa yang kamu herankan itu”. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah
SAW tentang hal itu, maka beliau menjawab, “Itu adalah sedeqah yang diberikan
Allah kepada kalian, maka terimalah sedeqah-Nya itu”. [HR. Muslim juz 1,
hal. 478]
·
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Aku pernah keluar
bersama Rasulullah SAW dalam ‘umrah di bulan Ramadlan, kemudian
Rasulullah SAW berbuka, sedang aku tetap berpuasa, dan beliau mengqashar
(shalatnya) sedang aku menyempurnakannya, lalu aku bertanya, “Ya Rasulullah,
kutebusi dengan ayah dan ibuku, (bagaimana) engkau berbuka sedang aku tetap
puasa, dan engkau mengqashar shalat sedang aku menyempurnakannya ?”. Lalu
beliau menjawab, “Itu baik saja, ‘Aisyah”. [HR. Daruquthni juz 2, hal. 188,
dan ia berkata : Hadits ini sanadnya hasan]
·
Dari ‘Aisyah RA, bahwasanya Nabi SAW pernah mengqashar
shalat dalam bepergian, dan pernah menyempurnakannya, dan pernah berbuka, dan
pernah juga tetap berpuasa. [HR. Daruquthni juz 2, hal. 189, dan ia berkata
: Hadits ini sanadnya shahih] >>>>Keterangan : Dari
dalil-dalil tersebut bisa kita pahami bahwa mengqashar shalat bagi musafir itu
adalah suatu rukhshah, bukan sebagai keharusan.
Referensi dari :
1.
Materi Kajian Majelis
Taklim dan Dakwah “Husnul Khotimah” Masjid An-Nut Jagalan Malang, pengasuh Al
Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadromi.
3.
http://elbal.blog.uns.ac.id/2011/07/05/solatsafar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar